Libur Akhir Tahun Dikurangi 

Nasional | Selasa, 24 November 2020 - 09:00 WIB

Libur Akhir Tahun Dikurangi 
Warga saat menikmati suasana dan fasilitas permainan di Taman Wisata Alam Mayang sebelum pandemi Covid-19, beberapa waktu lalu. Libur akhir tahun ini masyarakat diharapkan mematuhi protokol kesehatan saat mengunjungi tempat-tempat wisata. (DOK.RIAU POS)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2020 tentang Cuti Bersama ASN berpeluang berubah. Itu setelah pemerintan memutuskan untuk meninjau ulang penerapan cuti bersama pengganti Idulfitri. Sangat mungkin, cuti bersama lima hari untuk perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) bakal berkurang.

Keputusan itu diambil dalam rapat kabinet terbatas di Istana Merdeka, Senin (23/11). Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi porsi pembahasan khusus dalam ratas kemarin untuk membahas libur Nataru. Hasilnya adalah keputusan peninjauan ulang.


"Bapak Presiden memberikan arahan supaya ada pengurangan (libur)," ujar Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy usai ratas.

Yang diminta untuk dikurangi, lanjut Muhadjir, adalah cuti bersama akhir tahun dan libur pengganti cuti bersama Idulfitri. 

"Presiden memerintahkan supaya segera ada rapat koordinasi yang dilakukan oleh Kemenko PMK dengan kementerian/lembaga terkait," lanjut mantan Mendikbud itu.

Pada Keppres yang berlaku saat ini, cuti bersama Natal ditetapkan berlangsung 1 hari, yakni pada 24 Desember. Sementara, cuti bersama pengganti Idulfitri berlangsung empat hari pada 28, 29, 30, dan 31 Desember. Bila diakumulasikan dengan akhir pekan dan libur nasional, total masa liburan akhir tahun adalah 11 hari. Mulai 24 Desember 2020 sampai 3 Januari 2021.

Muhadjir tidak memerinci apa pertimbangan pemerintah mengurangi masa libur tersebut. Namun, berkaca dari sejumlah momen cuti bersama beberapa bulan terakhir, terlihat bila libur panjang membuat kewaspadaan masyarakat berkurang. Mereka berlibur dan memenuhi tempat-tempat wisata sehingga timbul kerumunan. Belum lagi bila ada yang mengabaikan protokol kesehatan.

Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengakui bahwa libur panjang berdampak pada penularan Covid-19. 

"Harus diakui bahwa terjadi peningkatan kasus (Covid-19) selama libur panjang yang lalu," terangnya.

Libur panjang yang dimaksud adalah saat peringatan Maulid Nabi pada akhir Oktober lalu. meskipun demikian, dia mengklaim bahwa angka penularannya masih bisa dikendalikan. Dalam arti tidak lebih tinggi dari libur panjang tahun baru hijriah Agustus lalu.

Beberapa hari terakhir, sambung Doni, terjadi peningkatan kasus di sejumlah daerah. Bahkan, penambahan kasus di ibu kota lebih tinggi dari biasanya. "Dua hari yang lalu (21/11) kasus mencapai 1.579 dan kemarin (22/11) 1.300-an," lanjut perwira TNI berpangkat letnan jenderal itu.

Tingkat keterisian ruang ICU di Sejumlah RS di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sudah di atas 70 persen. Sedangkan di Jakarta, angka keterisian ruang ICU mencapai 69,5 persen. Ada beberapa kasus yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus beberapa hari terakhir. Contohnya adalah kerumunan di beberapa titik di Jabodetabek seperti Bandara Soekarno-Hatta, Petamburan, Slipi, Tebet Timur, dan Megamendung. 

Sementara Sementara itu, pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai, pengurangan jatah libur Nataru masih belum jelas. Karena masih tahap pembahasan. Selain itu, poinnya lainnya ialah berapa banyak jatah libur yang bakal dipangkas. 

Selain itu, pemerintah juga dirasa sedang pencitraan. Sebab, sejatinya imbauan untuk meniadakan cuti bersama guna mencegah penularan Covid-19 sudah berulang kali disampaikan. Mulai dari libur panjang lebaran, libur Agustusan, hingga libur di akhir Oktober lalu. Sayang, pemerintah ngeyel dengan dalih pemulihan ekonomi, cuti bersama masih dijalankan.  

"Kalau ini (rencana pemangkasan libur Nataru, red) dibahas kan seolah-olah serius. Padahal sudah berkali-kali presiden dikasih tahu. Jangan lagi lah nanti disebutkan presiden tidak terinformasi dengan baik," ujarnya. 

Menurutnya, tak ada masalah dengan libur atau cuti. Namun persoalannya, jika cuti diatur sehingga memungkinkan orang keluar secara bersama-sama dalam jumlah massif. Pada libur akhir tahun misalnya. Ada dua kegiatan besar, perayaan natal dan pergantian tahun, yang diikuti libur panjang. Tentu akan sangat berisiko jika masyarakat se-Indonesia diberikan cuti bersama. Beda halnya dengan cuti biasa. Setiap orang pasti akan punya jadwalnya masing-masing. 

"Natal dan tahun baru boleh libur. Satu hari, satu hari," katanya. 

Pandu juga mengkritik pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD mengenai penyebab kenaikan kasus positif Covid-19 baru-baru ini. Mahfud mengatakan, angka kasus positif naik lantaran adanya kerumunan. Di mana, itu mengarah pada acara penjemputan Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab. Menurut Pandu, hal itu tidak sesuai. Karena nyatanya bukan kerumunan yang menyebabkan kenaikan kasus, tapi kebijakan pemerintah. Salah satunya, cuti bersama. 

"Jadi nggak adil, yang ini sebelum jelas, dimarahin udah dicopot kapoldanya. Sementara kebijakan yang sudah dibilang jangan tapi tetap dilakukan demi pemulihan ekonomi," ungkapnya.  

Pandu sendiri tidak melihat ada perubahan strategi dalam penanganan pandemi di dalam negeri. Pemerintah bukan berpikir untuk melangkah sepuluh kali lebih maju, tapi masih menunggu adanya suatu kejadian baru kemudian merespon. Kondisi ini sama persis dengan awal penanganan pandemi pada Maret lalu. Padahal, sekarang ini, pandemi sudah bisa diprediksi. Bahkan prediksi yang telah disampaikan sebelumnya sudah terjadi sepenuhnya. Termasuk risiko kenaikan kasus saat libur panjang. 

"Kalau kayak gini terus kita tidak mungkin mengatasi pandemik," keluhnya.  

Menyangkut kenaikan kasus ini, beberapa kali pejabat pemerintahan mengklaim bila kondisi kasus dan penanganan jauh lebih baik dibanding libur panjang sebelumnya. Kendati begitu, kata Pandu, kenaikan tetap terjadi. 

Ia pun meminta agar pemerintah tak mengagungkan vaksin. Sebab ini hanya solusi jangka pendek. "Emang begitu divaksinasi langsung selesai pandemik?" katanya. 

Pandu mengatakan, pandemi ini jangka panjang. Bisa tiga atau bahkan lebih panjang hingga lima tahun ke depan. Tergantung pemerintah dan masyarakat ingin berapa lama. Karena yang paling penting bukan mengakhiri tapi mengendalikan. 

Ia juga heran, mengapa Indonesia sangat heboh soal vaksin ini. Padahal Negara lain tidak sesibuk pemerintah kita. "Padahal harusnya yang diperkuat adalah protokol kesehatan, pakai masker. Itu mandatory. Paling murah dan tidak ada efek sampingnya," ungkap Pandu. Mirisnya, kesadaran penggunaan masker kian hari kian menurun seiring dengan promosi kesehatan yang kurang massif dan tidak menyentuh kalangan bawah.(byu/lyn/mia/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook